Kamis, 30 Juli 2009

tas

Tasawuf Bukanlah Sufisme



Tasawuf serta sufisme
terlihat merebak akhir-akhir ini di indonesia, namun bila kita amati
dengan lebih seksama akan kita dapati kerancuan dalam pemahaman terhadap
arti tasawuf dan arti sufisme yang di anggap sama, juga terdapat kerancuan
terhadap arti sufistik, sufisme, filsuf, filosofi dlsb.






Oleh karena itu marilah kita
cermati apa dan bagaimana sebenarnya tasawuf dan
sufisme
serta dimana letak perbedaanya.





Sebagaimana kita ketahui
bahwa Nabi SAW. berkata bahwa umur umatku tidak jauh dari umurku,
sedangkan pada saat wafat Nabi SAW. adalah berusia 63 tahun, sehingga hal
tersebut mengisyaratkan bahwa umur umat Muhammad SAW. berkisar di sekitar
63 tahun saja, sehingga bila ada yg berusia hingga 70-90 tahun merupakan
hadiah atau tambahan kesempatan untuk menambah amal ataupun untuk bertobat
bagi yang masih berasyik-asyik dengan dunia, disamping itu terdapat pula
pendapat yang menyatakan pembagian tiga terhadap standar usia 63 tahun
tersebut menjadi tiga bagian yang masing-masing terdiri dari 21 tahun,
ketiga bagian tersebut diterangkan sebagaimana berikut ini:




  • 21 tahun pertama adalah Syariat.

  • 21 tahun kedua adalah Hakikat.

  • 21 tahun ketiga adalah Marifat.



Jadi idealnya dalam kehidupan umat islam
seharusnya 21 tahun pertama adalah saat untuk
berlomba-lomba mengumpulkan ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu
pembeda salah dan benar atau gelap dan terang, serta di tambah ilmu
pengetahuan umum yang berguna untuk menunjang modal kehidupan.



Sedangkan 21 tahun kedua
adalah saat untuk pencarian kebenaran atau pembuktian
dari semua ilmu yang telah didapatkan tersebut diatas, seyogyanya
pencarian kebenaran tidaklah menjadikan terhentinya pencarian atau
penambahan ilmu, sebab kita senantiasa harus terus belajar dan menambah
ilmu selama kematian belumlah menjeput.



21 tahun ketiga baik lebih
maupun kurang adalah saat setelah teruji kebenaran dari ilmu yang didapat
tersebut, menjadi saat keemasan kehidupan ruhaniah seseorang yang secara
umum dapat dikatakan memasuki usia kebijakan (kurang lebih dimulai pada
usia 43-50 tahun), yang secara sisi ruhaniah menjadi masa pengenalan
terhadap Allah sebagai pemilik segala ilmu serta segala sesuatu yg
terkait kepada ilmu tersebut, yang mana keterkaitan tersebut dapat
diartikan sebagai pembuatan, sebagaimana Allah dengan ilmunya telah
membuat atau menciptakan alam semesta beserta isinya dan yang termasuk
didalamnya adalah manusia, yaitu kita.



Dengan demikian maka menjadi jelaslah bahwa kita
hanya dapat mengenal dan merasakan keberadaan Allah dengan
pengenalan
akan kebenaran ilmu serta segala
ciptaan
Nya, sedangkan kebenaran ilmu Allah kiranya hanya bisa
kita dapatkan dari hikmah kehidupan dengan berbekal atau bermodalkan sabar serta tawadhu.



Setelah mengamati ulasan kehidupan yg panjang
dan berbelit tersebut di atas maka sampailah kita pada pengenalan dari
arti tasawuf yang merupakan ilmu marifat atau
ilmu pengenalan terhadap Allah, sedangkan
sufisme
adalah isme atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu
untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi
, yang mana
diketahui bahwa akhir dari kesufian adalah awal dari kenabian, yang tentu
saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian kesucian yang
tertinggi
yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah bahwa
akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya
tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.



Sekarang tentunya telah menjadi lebih teranglah
perbedaan antara tasawuf dengan sufisme, walaupun sangatlah jelas bahwa
sufisme adalah salah satu ilmu atau cara menjalani tasawuf bagi para sufi,
sedangkan tasawuf itu sendiri dapat dipelajari atau di amalkan siapa saja
yang ingin mencapai tingkat marifatullah dengan cara mencari
bukti-bukti kebenaran dari ilmu serta segala sesuatu ciptaan Allah atau
yang dikenal dengan merenung sesaat yang dapat menghasilkan pemahaman akan
kebenaran ilmu-ilmu Allah dengan imbalan 1000 rakaat shalat, juga dapat
dicapai dengan cara mencari hikmah dari setiap permasalahan dalam
kehidupan pribadi maupun orang lain dengan berbekal sabar, tawadhu,
prasangka baik pada Allah sesuai dengan janji-janji serta ketetapan Allah
pada hambanya.



Sedangkan pada kasus kerancuan yang terjadi akibat
fisafat islam yang menjadi bahasa umum para sufi yang sedemikian sulit
untuk dimengerti orang awam adalah penyebab para sufi di anggap orang yang
tidak normal dengan segala cerita keanehan-keanehan kehidupan mereka yang
sebetulnya di ceritakan oleh para penganut sufisme dalam bahasa filsafat
yang tentu saja tidak mudah dimengerti atau di pahami kecuali bagi mereka
yang sudah terbiasa mendengar istilah-istilah serta kata-kata kiasan yang
menyerupai syair atau puisi, atau untuk mudahnya kita harus berfikir untuk
mengartikan sebuah kata kias, syair ataupun puisi, sudah barang tentu akan
jauh lebih sulit lagi bila kata kias, syair atau puisi itu memakai bahasa
fisafat pula, tentu saja akan menjadi sangat rumit untuk mengerti artinya,
apalagi untuk menghayatinya.



Sebagai contoh, ada seorang sufi yang pada
saat itu terjadi perbantah-bantahan didalam hatinya
sedangkan ia sedang berjalan di gurun pasir, sehingga ia berjalan
terus di gurun pasir tersebut selama satu tahun tanpa makan dan minum
,
juga ada seorang sufi yang sedang berpuasa, lalu saat ia sedang menolong
seseorang untuk memperbaiki atap rumah ketika ia berada di ujung tangga,
si empunya rumah menyuguhkan makanan dan minuman yg terlihat enak dan
segar dikarenakan ia sedang berpuasa, sehingga terjadilah
juga perbantah-bantahan didalam hatinya sehingga
satu tahun atau dua tahun ia berada di atas tangga tersebut
,
kedua cerita tersebut diatas seakan-akan menceritakan kehebatan
atau terlihat begitu saktinya seorang sufi yang
mengakibatkan perbedaan pendapat bagi pembaca atau pendengar cerita
tersebut, bagi orang yang tertarik supranatural tentu saja
ingin mempelajari ilmu kesufian tersebut agar dapat menjadi hebat
atau sakti
sebagaimana sang sufi yg ia bayangkan
kehebatannya, dilain fihak bagi orang yang tidak percaya atau kurang
percaya akan hal supranatural atau klenik menjadikan
mereka memandang cerita tersebut sebagai suatu kebohongan yang
sangat besar
, sehingga menjadikan ia memandang sang sufi dan
para sufi sebagai pembohong besar.



Disinilah letak kerancuan pendapat
awam
dalam mengartikan cerita yang di sajikan
sebagai cerita, kata kias, syair atau puisi dengan memakai bahasa
fisafat islam
yang tentu saja sulit untuk dimengerti begitu saja,
walaupun sebenarnya dapat saja secara sederhana dicarikan
perumpamaannya
dalam kehidupan keseharian kita,
misalnya kita mempunyai kenalan, baik itu di kantor maupun di mana saja
tempat yang sering kita bertemu dengannya sedangkan orang tersebut
selalu membuat kita jengkel karena entah itu kelakuannya ataupun cara
berbicaranya yang selalu menjengkelkan kita, yang tentu saja semua itu
berjalan dalam waktu yang cukup lama ataupun lama sekali akan
menjadi ganjalan di hati
kita sehingga baru berakhir bila orang
tersebut tidak menjengkelkan lagi atau orang tersebut tidak disana lagi
atau kita yang sudah tidak disana lagi, tentu saja kita tidak dapat
memprediksi berapa lama ganjalan tersebut akan mengganggu kita bisa
satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan mungkin saja sepuluh tahun
,
ganjalan di hati kita tersebut dapat kita perumpamakan
sebagai perbantah-bantahan yang terjadi di hati sang sufi
tersebut, tentu saja baik kita maupun sang sufi tersebut, secara
kenyataannya
tidak berdiam di tempat tersebut atau pun
berhadapan dengan orang tersebut selama waktu masih terjadi ganjalan
atau selama terjadi perbantah-bantahan tersebut, melainkan baik kita
maupun sang sufi tersebut tetap melaksanakan kegiatan kita
sehari-hari seperti biasanya
, walaupun ada ganjalan di hati kita
maupun perbantah-bantahan di hati sang sufi tersebut.



Memandang kasus tersebut di atas maka
menjadi jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya tidaklah ada suatu
keanehan
dalam kehidupan seorang sufi, melainkan sama saja
dengan kehidupan kita sehari-hari, yang berbeda hanya masalah cara hidup
saja, kehidupan seorang sufi, sama saja dengan seorang
guru agama (ustadz), da'i atau ulama secara umum, hanya saja biasanya
mereka berusaha untuk selalu menjaga pandang, wudlu juga
fikirannya
, demi tercapainnya kesucian tertinggi
yang dapat dicapai manusia.



Dengan demikian, maka baik ganjalan hati
ataupun perbantah-bantahan hati hanyalah suatu bentuk
kemacetan , stuck atau terhentinya salah satu proses ruhaniah kita

dalam jangka waktu tertentu, yang di perumpamakan
seakan-akan waktu terhenti sedangkan diri tetap
berjalan
atau diri terhenti sedangkan waktu
terus berjalan
, dan lain sebagainya perumpamaan.



Mungkin contoh kematian yang
secara umum ditakuti dapat menjadi contoh yang lebih mudah
dimengerti, misalkan pada suatu sore hari, kita sedang memotong rumput di
halaman rumah, selagi asyik memotong rumput tiba-tiba kita teringat
akan kematian
yang sangat menyakitkan sakratul
mautnya sehingga kita menjadi takut akan kematian yang pasti
datang itu, maka selama kita takut akan kematian tersebut
selama itulah pengetahuan ruhanian tentang kematian kita terhenti,
seakan-akan bila ingat soal kematian kita ingat saat pertamakali takut itu
datang di taman rumah kita tersebut, walaupun keruhanian
kita selain tentang kematian terus berjalan, baik itu
belajar agama ataupun segala peribadahan kita tetap berjalan seperti
biasanya, juga kegiatan kita sehari-hari tetap berjalan normal seperti
biasanya, namun selama kita masih takut akan kematian
tersebut, selama itu pula pemikiran kita tentang kematian tetap
tertahan di taman tersebut
, sehingga waktu seakan-akan
berhenti untuk masalah kematian tersebut
, walaupun kegiatan kita
berjalan normal seperti biasanya, pada suatu hari, tiga tahun
setelah masalah di taman itu, bertemulah kita dengan seseorang yang
memberi tahukan bahwa tiada rasa sakit, walaupun hanya
sebiji zarah
kecuali akan ditambahkan kemuliaan
baginya, sehingga dengan pengetahuan ini kita menyadari
bahwa sakratul maut yang super sakit itu dapat ditukarkan
menjadi super mulia, yang merupakan kesempatan terakhir atau
tambahan yang sangat menguntungkan, yang diberikan Allah yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang kepada hambanya, berkah ini tentu saja menghapus
ketakutan kita kepada sakratul maut, sehingga kematian
bukan lagi
merupakan hal yang menakutkan, dengan demikian
hilanglah sudah kemacetan
ruhaniah akan kematian
tersebut, setelah tiga tahun membebani kita, kejadian tersebut dapat
diperumpamakan
semenjak sore tersebut kita terus
mencabuti rumput selama tiga tahun
tanpa makan dan minum,
tanpa makan dan minum ini dapat diartikan selama tiga tahun
kita tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah ketakutan
tersebut.



Tentu saja jika kita menceriterakan
kepada banyak orang, bahwa kita mencabuti rumput tanpa makan dan minum
selama tiga tahun dikarenakan takut akan kematian, diantara
mereka akan ada yang mengatakan kita pembohong besar,
sedangkan diantara yang lainnya ada yang akan menganggap kita orang yang
sangat sakti, padahal kita hanya orang biasa saja.



-=*=-



Tidak ada komentar: