Kamis, 30 Juli 2009

dzikir

Dzikir






Sekarang ini sedang musim yang namanya
dzikir akhbar yang menimbulkan cukup banyak pro dan
kontra, juga di mesjid-mesjid banyak imam memimpin do'a dan
dzikir setelah shalat berjemaah, juga masih sangat banyaknya orang
yang berdzikir hingga beribu-ribu kali demi
ketercapaian hajatnya.







Tuhanmu tidaklah tuli oleh karenanya kita
disuruh merendahkan suara kita, jika ada yang
melantunkan ayat-ayat qur'an kita hendaknya mendengarkan
dengan seksama, dan lain sebagainnya larangan.




Lalu kenapa masih banyak
saja yang melantunkannya keras-keras dan bersama-sama?, alasannya
tentu saja beragam, ada yang beralasan daripada
ngumpul ngga keru-keruan lebih baik dzikir bersama, ada juga yang
kalau ramai-ramai baru percaya diri, ada yang sudah
terbiasa
waktu di pesantren dan lain-lain alasan.




Sebenarnya memang bila di pesantren pada
umumnya dzikir serta berdo'a dipimpin oleh kiai nya,
sebab semua santri masih belajar, jadi biar cepat dan
seragam maka dipimpin oleh kiainya atau siapa saja yang menjadi
imam
saat shalat berjemaah tersebut, lalu kenapa diluar
pesantren hal tersebut masih juga terbawa-bawa?, selain
kebiasaan
memang masyrakat kita belum terbiasa belajar
sendiri jadi segalanya diserahkan ke imam untuk selamanya,
karena memang tidak pernah mau belajar.




Memang bangsa kita kebanyakan malas
belajar, jadi maunya mengikut dan menyerahkan saja
seratus persen kepada yang dianggap mengerti tanpa mau
lagi menelaah apa yang dibaca serta apa artinya, sedangkan yang
dianggap
mengerti itu juga adalah yang tadinya 
ikut-ikutan
juga jadi belum pernah menelaah juga, makin
sulitlah akhirnya mencari yang memang mau mengerti serta
belajar, bahkan akhirnya karena terbiasa mengambil
cara mudahnya serta kebiasaan itulah yang menjadikan yang
benar
menjadi hal aneh ataupun menjadi asing.




Kebiasaan menitipkan do'a ke
orang lain inilah yang menjadi berlarut-larutnya kekeliruan yang
menyebabkan kehilangan arti sebenarnya dari do'a
maupun dzikir, orang hanya tertuju kepada satu tujuan saja yaitu
hasil
ataupun kemakbulan do'a tersebut dengan
mempercayakannya kepada orang yang dianggap bersih,
soleh ataupun terlihat meyakinkan secara penampilannya, karena
menganggap dirinya sendiri kurang berpotensi dalam
berdo'a atau berdzikir, padahal yang mengetahui
keinginan, kesungguhan, ketulusan dari do'a adalah dirinya sendiri,
sedangkan menitipkannya ke orang lain kita tidaklah tahu orang
tersebut membaca do'a apa, artinya apa perasaannya bagaimana, apakah
orang tersebut juga memiliki apa yang kita mintakan
sehingga mungkin saja orang tersebut lebih membutuhkan
sesuatu yang kita minta tersebut, seperti aneh tapi nyatanya orang
yang pergi ke dukun untuk meminta harta yang banyak
dari dukun yang meminta bayaran yang tentunya meminta
bayaran tersebut dikarenakan dukun tersebut pun
membutuhkan harta.




Fungsi lain dari do'a atau dzikir yang
menjadi hilang dengan menitip pada orang lain adalah
fungsi mengingatkan kita terhadap sesuatu yang di
do'akan ataupun di dzikirkan tersebut, juga kehilangan
menghadirkan Allah serta RasulNya yang seharusnya teringat
atau
terbayangkan pada saat kita meminta itu kita meminta
kepada
siapa dan menurut siapa bahwa Allah
akan mengabulkan permintaan kita, bukannya hanya
tinggal bicara atau minta ke orang lain lalu tidur menanti
hasil, padahal hukumnya sudah jelas setiap orang akan mendapatkan
balasan sesuai apa yang diusahakannya.




Para ustadz dan ulama yang sudah
mengerti hukum merendahkan suaranyapun, masih juga
memimpin do'a maupun dzikir bersama dengan suara keras di
mesjid-mesjid umum dikarenakan mereka menganggap
sebagai pembelajaran bagi mayarakat kita, sebab memang
masyarakat kita masih sangat banyak yang harus belajar
untuk ingin tahu apa yang sebenarnya sedang mereka
lakukan, jadi jangankan untuk belajar berdo'a
atau
berdzikir sendiri, untuk merasa ingin tahu
saja apa yang sedang mereka ikuti tersebut, mereka masih
harus belajar, rasa ingin tahu terhadap urusan diri
sendirinya sangatlah kurang, tetapi kalau soal urusan orang
lain, apa itu aib maupun ghibah bahkan fitnah sangatlah
antusias
.




Dzikir itu sendiri sebenarnya
berasal
dari dzikrullah atau mengingat Allah yang
tentu
saja fungsi sebenarnya adalah untuk mengingat Allah,
bila kita sering mengingat Allah tentu Allah juga
akan
mengingat kita, bila Allah mengingat kita berarti
suasananya
dekat sekali dengan kita, jika dekat
tentu
saja permohonanpun mudah terdengar serta terkabulkan.




Tentang berdzikir dengan jumlah
ratusan bahkan ribuan hitungan, sebenarnya juga
merupakan
sarana atau cara pembelajaran bagi kita, sebab
jika kita berdzikir atau wiridan dengan hitungan yang banyak
maka
yang akan lebih kuat adalah tekanan hitungannya
bila dibandingkan dengan tekanan ucapannya itu sendiri,
juga pengulangan yang banyak serta cepat tersebut
malah menghilangkan arti dari apa yang kita ucapkan tersebut,
sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang sangat
tersibukan oleh dunianya, sehingga sangat sulit dunia tersebut
memberi
kesempatan kepada kita untuk mengingat Allah,
oleh karena itu orang-orang bijak telah membuat suatu cara
berlatih dengan jumlah hitungan tertentu agar kita dapat
memperkirakan
waktu yang terpakai oleh jumlah
tersebut berapa lama, setelah kita mengetahuinya maka sebenarnya
sekianlah waktu yang siap akan kita korbankan dari
dunia untuk mengingat Allah dengan mengulang
perlahan-lahan ucapan disertai  perenungan arti
dari ucapan tersebut.




Misalkan berdzikir
Subhanallah tiga puluh tiga kali menghabiskan waktu satu menit, maka
kita dapat memakai waktu satu menit tersebut untuk merenungkan
dzikir Subhanallah... Maha Suci Allah... Allah Maha Suci, kita
manusia sebagai hamba tentu saja kotor dihadapannya, semoga Allah
mensucikan kita atas kehendakNya, atau sesuai dengan
penghayatannya sendiri, dengan penghayatan tersebut satu menit
mungkin hanya akan mendapatkan tiga kali pengulangan
saja, namun bila perenungannya tersebut menghasilkan
suatu kebenaran yang hakiki maka akan menghasilkan setara
seribu rakaat shalat yang diterima.




-=*=-



Tidak ada komentar: