Kamis, 30 Juli 2009

ratap

Ratap






Ratap, meratap, meratapi, rasanya
hal
ratap-meratap tersebut menggambarkan suatu
unjuk rasa yang memang oleh islam dilarang bagi
kita untuk melakukannya.







Meratap tentunya memang
suatu gambaran unjuk rasa ketidak setujuan bahkan
mungkin menjadi ketidak puasan atas keputusan takdir yang
telah Allah tentukan, hal tersebut tentunya sama saja
artinya dengan menuduh Allah tidak menghitung
dengan
benar saat merencanakan ataupun membuat
serta menjalankan takdir tersebut.




Tidak pernah ada sisi
baiknya dari apa yang dinamakan ratapan tersebut, hal
tersebut hanya menunjukan bahwa orang tersebut tidak
pernah ataupun tidak mau belajar cara
menghadapi kenyataan hidup, meratapi keadaan sama saja dengan
tidak puas atas pemberian Allah, meratapi diri sendiri juga
sama
saja dengan tidak puas terhadap dirinya
sebagai ciptaan Allah, islam tidak
mengajari ummatnya untuk menyesali, yang diajarkan
islam adalah menyadari lalu
memperbaikinya, takdir Allah adalah pasti, kehidupan
tidak dapat diubah, yang dapat diubah
adalah cara dalam menghadapinya.




Namun dalam hal
ratap-meratap tersebut ada suatu kaum yang malah
mempunyai ritual bahkan tempat khusus untuk meratap,
entah meratapi apa, yang pasti meratap adalah
unjuk rasa, demo, tidak puas kepada Pencipta segala
sesuatu bahkan kepada Pencipta dirinya sendiri pun,
meratap yang disadari bahkan dengan disengaja
barangkali akan lebih tepat lagi bila diartikan
sebagai
tidak menghargai atau merendahkan serta
membangkang.




Oleh karena hal-hal yang negatif
dari
meratap tersebutlah kiranya menjadi sangat tidak
disarankannya bagi para wanita mengikuti jenazah keluarganya
hingga
ke pemakaman.




Pada masa reformasi terjadi kebebasan
pers yang membuat media-media massa terlalu bebas
menyuguhkan apa saja yang seringkali melampaui batas
kepantasan yang dapat diterima, bahkan
sering terjadi melanggar hak prifasi sesorang, dengan
bongkar-bongkaran aib orang, yang dapat menjadikan
kehacuran suatu perkawinan yang dapat menjadi berita
perceraian yang lebih menguntungkan lagi perusahaan media tersebut,
padahal ilmu apapun yang dipergunakan
untuk
mencerai beraikan suatu perkawinan,
sangat beratlah hukumannya, mungkin
banyak orang mengira bahwa ilmu tersebut adalah
ilmu guna-guna, padahal sebenarnya adalah ilmu apapun,
walaupun itu hanya ilmu berbicara..




Bencana alam yang
beritanya disajikan media massa pun, seringkali
menampilkan gambar-gambar yang kurang pantas, sosok
mayat yang sudah bengkak, hangus, terpotong-potong,
keluarga yang terkena bencana dalam keadaan
meratap-ratap  serta lain sebagainya hal yang
sangat tidak baik untuk dilihat oleh anak-anak,
bahkan
orang yang sudah dewasa pun merasa
ngeri, bagaimana pula jika kita melihatnya saat kita kebetulan
sedang
makan, tentunya akan menjadi mual serta
kehilangan
berkah makanan kita.




Kengerian yang menjadi reaksi kita
adalah
sangat wajar, sebab kehalusan hati
kita membuat kita mudah terharu, ngeri kepada bencana,
khawatir melihat ataupun mendengar suara petir, semua
itu menjadi lebih mengingatkan kita kepada Allah yang
Maha Kuasa.




Namun banyak media yang
baik karena kebodohan, ataupun keteledoran
bahkan
mungkin saja merupakan suatu
kesengajaan, menampilkan berbagai macam kekerasan,
kejijikan, kejorokan hingga profokasi birahi, yang dapat
menjadikan kita keras hati sehingga sulit tersentuh
untuk
mengingat Allah.




Jika kita sudah kehilangan
rasa jijik, ngeri, malu serta kepantasan maka
tanpa
disadari kita telah terseret kepada
kekerasan hati yang dapat membuat kita menjadi manusia
yang kejam tanpa perasaan, egois serta
lain sebagainya sifat buruk.




-=*=-



Tidak ada komentar: